Suatu hari pada sore hari cerah
dengan suasana yang sedikit berkabut di daerah dataran tinggi itu terlihat
sekumpulan sahabat yang sedang menikmati indahnya senja. Setelah puas mereka
berjalan, maka sejenak waktu mereka memutuskan untuk singgah di sebuah warung
kopi “Idjo” guna melepas penat pun dahaga. Tiga orang dari mereka
memesan secangkir hangat kopi, sedangkan dua orang sisanya memesan semangkuk
mie telor yang panas. Sembari menunggu pesanan
tersaji, mereka pun saling bercengkerama dan membahas hal-hal yang bisa
meramaikan suasana. Hingga salah satu dari mereka
membuat sebuah pernyataan,
“Sebenarnya kalau pacaran itu
kasihan sama yang perempuan.”
Dan dimulai dari sinilah obrolan
hangat kembali berlanjut disuasana yang lumayan dingin. Ketika ditanyakan
alasannya, maka si empu pernyataan pun menjawab setelah menyruput kopi
hangatnya,
“Karena kalau lelaki terkenal
dengan logika nya sedangkan perempuan identik perasaannya, maka saat harus
berpisah kita kenal ungkapan dikalangan (sebagian besar) kaum lelaki, mati
saatu tumbuh seribu. Apa yang telah berlalu maka biarkanlah berlalu dan
tumbuhkan yang baru. Sedangkan pada perempuan mungkin juga ada yang berpendapat
bila mati tumbuh seribu, namun kala perasaan yang berbicara terkadang berbeda
dengan apa yang telah diucapkannya. Memang akan mendapat yang baru, tetapi
seringkali masih teringat dengan yang dulu.”
Kemudian ada lagi yang menyahut,
“Apakah memang semuanya begitu? Baik
lelaki maupun perempuan? Karena pastilah ada yang benar-benar menjaga apa yang
mereka sakralkan.”
Salah satu penikmat kopi hangat
pun maju menjawab,
“yups setuju, pastilah ada yang
tak seperti kebanyakan. Karena tadi disebutkan bila sebagian besar seperti itu,
namun pastinya masih ada sebagian kecil yang tidak seperti itu. Maka langkah
terbaik adalah memang melakukan tindakan mencegah, yang artinya jangan
mencobanya terlebih dahulu sebelum tiba masa mu untuk benar-benar mencoba. Redamlah
apa yang bisa kau redam, dan kobarkan apa yang bisa kau kobarkan, namun
alangkah bijaknya bila ku pun menunggu saat yang tepat untuk melakukan
tindakan.”
Demi mendengar obrolan hangat yang sedang terjadi, maka salah
seorang yang sedari tadi asyik menikmati semangkuk mie tiba-tiba memicingkan
mata kepada si pembuat pernyataan tadi sembari bertanya,
“Apakah kamu pernah merasakannya
hingga bisa menceritakannya panjang lebar beserta alasannya? Apakah selama ini kamu
pernah suka terhadap seseorang ?”
Sambil memegang cangkir kopi
dengan kedua tangannya ia pun menjawab,
“Tidaklah harus seseorang
merasakan pahitnya kopi untuk tahu bila ternyata rasa kopi itu pahit, dan jika
ditanya apakah pernah maka aku pun manusia normal yang juga dapat menikmati
rasa yang sama dengan kebanyakan orang lainnya.”
Tak terasa hari pun makin gelap,
ditandai dengan mentari yang sudah mencapai garis horizon dan bedug pertanda
magrib akan segera datang. Maka sekumpulan sahabat ini pun segera
menyelesaikan obrolan mereka sembari menghabiskan apa yang sudah dipesan juga membayar dan segera berpamitan.